“Memulihkan Martabat Guru” September 18, 2013
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Pendidikan Progresif. Pendidikan Berpusat Pada Murid. John Dewey. Baby Sitter. Guru. Impresario. Peduli Pendidikan. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
12 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Melihat dunia pendidikan hari ini seperti melihat sebuah komputer keluaran tahun pertama yang dipaksa mengolah data untuk kebutuhan gaya hidup zaman sekarang sementara software-nya masih sama jadul dengan komputernya. Lebih parah lagi ketika software-nya diperbaharui sementara hardware-nya sudah tidak lagi mendukung. Komputer bukan hanya tidak bekerja optimal dan hasilnya mengecewakan, bahkan macet!
Seperti itulah pendidikan kita hari ini. Gonta-ganti kurikulum dengan macam-macam ramuan -yang katanya mujarab- sudah sering disajikan. Macam-macam metode, mulai dari gaya pendidikan sampai cara pembelajaran, sudah diperagakan. Hasilnya? Produk (-tetap-) gagal. Ibarat bayi, lahir dalam keadaan cacat. Dari sisi skill-intelektual sulit untuk bersaing, dari sisi akhlaq-kepribadian sulit dibanggakan. Bahkan tidak sedikit yang gagal sebelum jadi. Ibarat bayi, gugur di dalam kandungan.
Apa lagi yang salah kalau bukan hardware-nya. Ya ,apa lagi yang harus di-upgrade setelah itu kalau bukan sekolah atau gurunya. Maka lahirlah “Boarding School, Home Schooling, Sekolah Terpadu, Sekolah Unggulan, atau SBI sebagai bentuk-bentuk inovasi -atau kamuflase?- sekolah di dalam menghadapi gempuran peradaban sekaligus menjawab kekecewaan masyarakat. Tinggallah sekarang, apa jawaban guru?
Guru Hari Ini:
Tentu saja sekarang guru tidak bisa menjawab. Guru hanya bisa dituntut. Guru harus cerdas, trampil, sabar, dan menjadi teladan. Guru harus sarjana, guru harus rajin mengasah diri, guru harus sering mengikuti seminar, dan guru harus ini-harus itu.
Sekolah atau Lingkungan Belajar? Juni 21, 2012
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: 3 Kali Sehari, Bioritmik, Dikotomi Rumah-Sekolah, Dokter, Egoisme, Fullday School, gagap, Generasi Masa Depan, Hedonis, Hemat Energi, home schooling, Individualisme, jaman, Komersil, Komoditi, kurikulum, lantas, Lingkungan Belajar, Masalah Demografi, Masalah Transportasi, Mesin Peradaban, Obat, orangtua, Ortu Murid, Pede, Peleburan Informasi, Pencemaran Lingkungan, Perang Antar Sekolah, Pola Hidup Sehat, Prilaku Menyimpang, rambu, Rawat Inap, Rawat Jalan, remaja, Rumah Sakit, sekolah, Sirkuit Otak, Sistim Klasikal, Teknologi, Tujuan Pendidikan, Visi dan Misi Pendidikan
20 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Kalaulah tujuan pendidikan itu adalah agar manusia tahu untuk apa ia hadir di dunia, kalaulah tujuannya untuk melahirkan generasi yang lebih baik, kalaulah bukan semata untuk meraih kebaikan tetapi juga demi menghindari keburukan, maka bukan saatnya lagi sekarang berharap (-terlalu banyak-) kepada model sekolahan. Sekolah dewasa ini, ibarat orang, sudah pikun, paling sedikit linglung. Jangankan mempengaruhi orang, menyesuaikan diri saja sudah sulit. Dan layaknya orang pikun, ya tidak tahu mau buat apa. Bisanya hanya latah. Lain yang ditanyakan, lain yang dijawab. Itupun tergagap-gagap.
Lantas apa itu Lingkungan Belajar? Lingkungan belajar adalah lingkungan yang denyut nadinya kegiatan belajar. Dia tidak sama dengan sekolah. Lingkungan ini dibangun bukan hanya agar guru mudah mengajar, tetapi juga agar murid mudah belajar. Para guru bukan sama-sama mengajar, tetapi mengajar bersama-sama. Yang murid –mulai anak-anak sampai remaja, bahkan orangtua- bukan sama-sama belajar, tetapi belajar bersama-sama. Di lingkungan ini hampir tak ada dikotomi rumah-sekolah. Rumah ibarat sekolah, begitu pula sebaliknya. Orangtua ibarat guru, begitu sebaliknya. Lingkungan yang sangat potensial memenuhi apa yang tak lagi bisa kita harapkan dari model sekolahan.
Ada apa dengan sekolah?
Sekolah dewasa ini tidak se-Pede sekolah jaman dulu, gugup menghadapi murid yang berbeda dengan jenis murid ketika pertama kali model ini diciptakan. Yang dihadapinya sekarang adalah murid-murid yang hidup nyaris tanpa kendala ruang dan waktu, di dunia yang tak kenal istirahat dan tak pernah tidur. Terlalu banyak yang telah mencuri perhatian mereka dan juga menyusup ke dalam pikiran mereka, suka maupun terpaksa. Bagaimana tidak? Mereka adalah generasi multikultural yang tersesat di persimpangan jalan bebas hambatan yang tak lagi punya rambu-rambu, tenggelam di tengah arus informasi yang tak lagi punya kendali. Sementara sekolah (-saya tidak membicarakan sistim klasikal atau kurikulumnya-) nyaris tidak mengalami perubahan berarti dari sejak berdirinya, 350 tahun yang lalu. (lebih…)
Teknologi – Pasar – Pendidikan November 26, 2009
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Back to nature, Borax, brand image, budaya pasar, efek sampingan, Formaldehyde, Formalin, Herbal, home schooling, iklan, Impresario, Kesehatan itu Mahal, komersialisasi pendidikan, kualitas, kurikulum, layanan purna jual, metode pembelajaran, moderenisasi, Pasar, Pembeli adalah raja, Pendidikan, Pendidikan Itu Mahal, pesantren, posmo, praktis, promosi, sekolah, stronger and faster, Styrofoam, Teknologi, Teknologi Pendidikan
18 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Dahulu kala manusia harus berenang untuk menyeberangi hanya sebuah sungai. Mereka harus -dan hanya bisa- berlari sekencang-kencangnya untuk tiba segera di tempat yang dituju. Bersusah payah melompat setinggi-tingginya hanya untuk meraih buah yang hendak dipetik.
Kini mereka mampu berlayar bahkan mengarungi samudra. Cukup memacu kendaraannya untuk tiba di tempat dalam sekejap. Terbang bahkan menembus awan dengan pesawat.
Semua itu karena manusia tak henti berupaya; mengatasi tantangan, mempermudah cara, dan meningkatkan hasil. Berbagai ilmu mereka kembangkan, berbagai cara mereka lakukan, dan berbagai alat mereka ciptakan. Itulah teknologi.
Teknologi…
adalah yang juga hewan telah mengenalnya sejak awal, jauh sebelum istilah itu diciptakan. Hewan memanipulasi dirinya di dalam rangka menghadapi tantangan alam yang mengancam kehidupannya. Mereka berupaya mempermudah cara untuk melanjutkan kehidupannya, bahkan bersiasat untuk meningkatkan hasil buruannya.
Jadi, teknologi bukan monopoli manusia, apalagi harus identik dengan moderen. Ya, fitrah makhluq hidup -yang punya keinginan; mengatasi tantangan atau rintangan, mempermudah cara, dan meningkatkan hasil atau kualitas hidup- itulah yang menjadi sebab mengapa teknologi ada, sesederhana apapun bentuk dan cara kerjanya.
Manusia berupaya mengatasi tantangan, sehingga menjadi punya dari sebelumnya tak punya, menjadi bisa dari sebelumnya tak bisa. Setelah itu, manusia berupaya mempermudah berbagai cara, sehingga lebih mudah untuk punya, lebih mudah untuk bisa, serta lebih mudah meraih hasrat dan menyampaikan maksud,. Tidak cukup sampai di situ, kemudian manusia berupaya meningkatkan apa yang telah dihasilkan atau diperolehnya, sehingga hidupnya menjadi lebih baik; tidak sekedar punya…, tidak sekedar bisa…. (lebih…)
“Sebelum Anak Terlanjur Cerdas” Maret 17, 2009
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Amanah, Cerdas, Emotional Quotient., Islam. Pendidikan Anak, jujur, Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Kuat, Lemah-Lembut, Rajin, Sopan-Santun, Spiritual Quotient
34 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,
Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus ! (lebih…)
Peluang itu Datang Lagi !!! Agustus 26, 2008
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Risalah.Tags: pahala, ramadhan. puasa. ampunan.ALLAH. Muhammad.
7 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Hari ini terlalu banyak yang telah berubah dan menjadi baik. Orang-orang yang semula kukenal tak pernah sholat, kini tak pernah tertinggal berjama’ah di masjid. Temanku yang dulu masih terbata-bata membaca Al Qur’an, sekarang sudah hafal beberapa juz. Juga tidak sedikit aku temui perempuan yang semula berpakaian seronok, kini bahkan nyamukpun tak menemukan sedikit celah untuk bisa mendarat di kulitnya. Subhaanallah, banyak sekali yang telah berubah…, kecuali diriku.
Hari ini tak sedikit orang yang kukenal baik telah pergi, meninggalkan alam dunia, meninggalkan aku… -yang juga belum berubah-. Dan hari ini kembali ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mempertemukan aku dengan bulan Ramadhan. Artinya, sekali lagi ALLAH, mungkin yang terakhir kali, memberikan aku kesempatan, memberikan aku peluang (lebih…)
” Dikemanakan Hadits-Hadits ini?” Agustus 13, 2008
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Risalah.Tags: amar ma'ruf, demonstrasi, jihad, kemungkaran, ketaatan kepada pemerintah, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, nahi munkar, Nasihat
3 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Sungguh tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang kepada orang beriman selain Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Penderitaan orang-orang beriman adalah penderitaannya. Bahkan kesusahan orang-orang beriman ia rasakan lebih perih, seakan ia pusat saraf paling peka dari sebuah tubuh.
Tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih bersungguh-sungguh ingin memberikan petunjuk dan bimbingan serta ingin memberikan jalan keluar terbaik bagi orang-orang beriman, selain Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Keselamatan dan kebahagiaan orang-orang beriman adalah kebahagiaannya.
Tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang dan tulus kepada orang-orang beriman selain Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Apa yang ia beri tak pernah ia harap kembali. Dialah yang tak pernah menjual nasihat demi sekedar mereguk ni’mat, syahwat atau pangkat, juga tidak pernah gila hormat. (lebih…)
Dikotomisme Ilmu di Dalam Islam. Adakah Itu ? Agustus 2, 2008
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, Ali Syari'ati, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimiin, Asy”ariyah - Maturidiyah, Descartes, Dikotomi Ilmu, Einstein, Fardhu 'Ain, Francis Bacon, Hume, Ilmu Ghairu Syar’iy, Ilmu Syar'iy, Kristen, Leonardo Da Vinci, Mu’tazilah, Newton, Paradigma., Sosialisme, Sufi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, TS Kuhn, Voltaire, Yesus
17 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Jawabnya tentu bukan sekedar ada atau tidak. Dan masalah, bahkan istilah ini -berkaitan dengan Islam- tidak pernah dipertanyakan sebelumnya, kecuali karena dua sebab: Pertama, kenyataan yang terjadi di mana sebagian kaum muslimin sendiri cenderung berpandangan atau bersikap sehingga menjadi sebab tumbuh dan berkembangnya dikotomisme yang keliru. Kedua, Kecemburuan sebagian kaum muslimin atas ketertinggalan mereka oleh “barat” (baca: peradaban dunia non-muslim) di dalam urusan kesejahteraan material.
Pertanyaan ini menjadi penting, karena terlanjur muncul berbagai jawaban, mulai dari yang filosofis sampai kepada yang sifatnya praktis. Sebagai contoh (-di Indonesia-), adanya perlakuan diskriminatif antara SD, SLTP, SMU yang berinduk ke Depdiknas dengan Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang berinduk ke Depag. Kekhawatiran orang tua; kalau memasukkan anak ke Madrasah / Pesantren nanti susah mencari kerja, dan kalau memasukkan anak ke SD dan seterusnya nanti buta agama. Kesemua ini sesungguhnya bermuara kepada persoalan dikotomi ilmu.
Sementara itu tidak sedikit orang -yang karena kecemburuan ini-, langsung bersemangat menyanggah, antara lain dengan alasan: Banyaknya ulama Islam yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat bahwa Islam tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Tentu saja logika semacam ini sangat naïf. Apakah jika seseorang memiliki profesi sebagai polisi sekaligus pada saat yang bersamaan juga seorang pencuri, kemudian akan kita katakan bahwa tidak ada dikotomi antara polisi dengan bandit ? (lebih…)
“Lihat Bagaimana Orangtuanya Diperlakukan!” Juli 11, 2008
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Berbakti kepada Orangtua, Birr walidain, Hablun minannaas, orangtua
8 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Karena perkara terpenting di dalam urusan habluminannaas (hubungan di antara sesama manusia) -sebagaimana urusan terpenting setelah mentauhidkan ALLAH- adalah birr walidain (berbakti kepada orangtua). Beberapa ayat di dalam AL Qur’an menunjukkan, betapa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa menjelaskan di berbagai kesempatan dan ungkapan bahwa perkara terpenting -bagi setiap hamba- setelah mentauhidkan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa adalah berbakti dan berbuat baik kepada orangtua. (lebih…)
Dasar-Dasar Pendidikan Bagi Anak Juni 18, 2008
Posted by rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.Tags: Ketrampilan, keutamaan ilmu, penalaran, Pendidikan anak, Pendidikan anak Islam, Penghayatan
8 comments
Abu Khaulah Zainal Abidin
Pendidikan itu bukan sekolah, bukan pondok pesantren, bukan pula perguruan tinggi, apa lagi lembaga-lembaga kursus! Melembaganya pendidikan ke dalam bentuk-bentuk di atas di satu sisi memang tampak memudahkan, karena menimbulkan kepercayaan masyarakat bahwa ada pihak-pihak atau tempat-tempat tertentu yang diharapkan bisa mendidik (baca: mengajar) masyarakat di usia-usia belajar mereka, termasuk bisa juga disalahkan manakala timbul permasalahan di usia-usia belajar mereka. Dari sisi ini tampak sekali, bahwa “pendidikan sebagai produk masyarakat” lebih dominan ketimbang “masyarakat sebagai produk pendidikan”. Masyarakat telah lebih dahulu mendifinisikan, bahwa: Pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang mendidik (-nyatanya hanya mengajar-) di usia-usia belajar mereka, 6-3-3-6 th dst. Masyarakat telah lebih dahulu mendisain masa depannya dan meciptakan sistim pendidikannya untuk itu. Tepatnya, bisa dikatakan, bahwa pendidikan adalah cermin sistem sosial, di mana ia diselenggarakan di dalam sekaligus demi cita-cita sistem tersebut. (lebih…)